0
0
”SIRA enggal ngawulan ing Demak, sebab sira bakal raja, mengku ing tanah Jawa” (Segeralah engkau mengabdi kepada Demak, sebab kelak engkau akan menjadi raja, yang berkuasa di tanah Jawa).
Kurang lebih, begitulah kata-kata Sunan Kalijaga yang ditujukan kepada Joko Tingkir. Sang guru telah meramalkan bahwa Joko Tingkir bakal menjadi raja menguasai tanah Jawa. Dan beberapa tahun kemudian, jadilah dia raja di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Tentu saja, berdirinya Kesultanan Pajang bukanlah faktor ramalan semata. Ada beberapa penggal kisah yang mewarnai proses kemunculan kesultanan di pedalaman Pulau Jawa itu. Hadiwijaya sendiri sebenarnya memiliki ikatan darah dengan pemegang tahta Demak dan Majapahit. Raden Patah, Sultan Demak pertama merupakan putra raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya. Adapun Hadiwijaya sendiri juga merupakan keturunan Prabu Brawijaya.
Telah menjadi kisah yang sangat terkenal di tanah Jawa. Sebelum menjadi raja, Joko Tingkir mengawali ”karirnya” dalam ketentaraan Kesultanan Demak. Karena kecerdasan, keterampilan, dan kesaktiannya, dia menjadi menantu Sultan Trenggana (sultan Demak masa itu) sekaligus diangkat sebagai Adipati Pajang. Wilayah Pajang saat itu meliputi Pengging (sekitar Boyolali dan Klaten), Tingkir (sekitar Salatiga), Butuh dan sekitarnya.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik tahta. Namun dia tewas dibunuh oleh keponakannya sendiri, Arya Penangsang, tahun 1549. Arya Penangsang bahkan berusaha membunuh Joko Tingkir karena khawatir akan menjadi ganjalan. Namun dengan bantuan Ki Panjawi, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani, Bupati Jipang itu akhirnya justru tewas tertusuk tombak Kiai Plered milik Sutawijaya.
Sejak saat itu, Joko Tingkir mewarisi Kerajaan Demak dan memindah pusat pemerintahannya di Pajang. Dia kemudian menobatkan diri menjadi penguasa Kesultanan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Saat ini, petilasan Keraton Pajang dapat dijumpai di Gang Benowo II Sonojiwan RT5 RW22 Makam Haji, Kartosuro, Sukoharjo.
Pajang menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Mataram. Kerajaan itu mampu mengombinasikan Islam yang dibawa para wali dari pesisir utara Pulau Jawa dengan budaya kejawen di pedalaman. Memang tidak banyak peninggalan fisik Keraton Pajang yang ditemukan. Namun dalam posisinya saat itu, Pajang berperan penting dalam transisi kebudayaan dari Demak di pesisir utara menuju Mataram di selatan Pulau Jawa. Bahkan, Pajang patut dianggap berperan besar dalam upaya memajukan peradaban masyarakat Jawa pedalaman.
Kesultanan Pajang memang telah habis riwayatnya selepas pemerintahan Pangeran Benawa, sekitar 1587. Pangeran Benawa tidak mempunyai putra mahkota dan memilih nyepi, mengabdi untuk agama. Setelah itu, Pajang menjadi bagian wilayah Kesultanan Mataram.
Mengurus Pajang
Setelah 424 tahun lamanya, kini muncul upaya membangkitkan kembali Kesultanan Pajang. Pada 4 Maret lalu, telah dinobatkan seorang adipati untuk meneruskan sekaligus mengurus Keraton Pajang. Dialah Suradi, yang dinobatkan sebagai Adipati Pajang, kemudian bergelar Kanjeng Raden Adipati (KRA) Suradi Joyo Negoro. Adapun yang menobatkan adalah Sultan Demak, Kanjeng Sultan Suryo Alam.
Di bawah naungan Yayasan Kesultanan Keraton Pajang, Suradi bersama beberapa rekannya berhasrat memunculkan kembali situs cagar budaya Keraton Pajang sebagai warisan Nusantara. Pihaknya mengemban misi untuk melestarikan dan menggali potensi situs Keraton Pajang untuk edukasi dan pariwisata.
Humas Kasultanan Karaton Pajang, Ir Sigit Rusdarmawan mengatakan, jumenengan Adipati Pajang yang pertama telah dilakukan 26 Mei lalu. Upacara itu diikuti dengan peresmian Yayasan Kasultanan Keraton Pajang serta ruwatan Sudamala untuk keraton dan Adipati Pajang. Kesultanan Pajang versi modern itu telah didaftarkan pada Yayasan Keraton Nusantara.
Pihaknya berencana menggali peninggalan Karaton Pajang termasuk petilasan-petilasannya, kemudian membuat replikanya. Selain itu membangun museum untuk menyimpan peninggalan-peninggalan masa lampau. Dengan cara itu sejarah Kasultanan Pajang dapat diluruskan.
Saat ini, yayasan yang lahir dari Paguyuban Patilasan Kesultanan Keraton Pajang tersebut mengaku memiliki beberapa benda peninggalan Pajang. Di antaranya berupa batu ompak (fondasi penyangga pilar rumah), batu pipisan (alat untuk membuat jamu), tiang pengikat gajah tunggangan Joko Tingkir, cancangan gethek (tiang untuk mengikat rakit) serta beberapa potong kerangka kayu yang diduga sebagai rakitnya Joko Tingkir. Ada juga setumpuk batu bata bekas tembok Keraton Pajang.
Artefak dan peninggalan-peninggalan tersebut terkumpul dalam satu lokasi di Gang Benowo II Sonojiwan RT5 RW22 Makam Haji, Kartosuro, Sukoharjo. Di tempat itu pula terdapat Sumber Panguripan Tirtomulyo sebuah petilasan yang diyakini pernah menjadi pusat Keraton Pajang. Kelak, akan dibuatkan sebuah museum untuk merawat peninggalan-peninggalan itu.
Di sisi lain, Drs Soedarmono SU, dosen Jurusan Sejarah UNS mengatakan, situs petilasan Pajang sebenarnya pernah dieksplorasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Eksplorasi berhasil menemukan batu ompak dan batu-bata yang diyakini bekas tembok Keraton Pajang. ”Tetapi, proyek berhenti karena Indonesia keburu merdeka. Sampai sekarang tenggelam menjadi mistis. Kalau saat itu dilanjutkan, saya yakin secara arkeologis Keraton Pajang bisa dibongkar,” katanya.(47) (/)
Kurang lebih, begitulah kata-kata Sunan Kalijaga yang ditujukan kepada Joko Tingkir. Sang guru telah meramalkan bahwa Joko Tingkir bakal menjadi raja menguasai tanah Jawa. Dan beberapa tahun kemudian, jadilah dia raja di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Tentu saja, berdirinya Kesultanan Pajang bukanlah faktor ramalan semata. Ada beberapa penggal kisah yang mewarnai proses kemunculan kesultanan di pedalaman Pulau Jawa itu. Hadiwijaya sendiri sebenarnya memiliki ikatan darah dengan pemegang tahta Demak dan Majapahit. Raden Patah, Sultan Demak pertama merupakan putra raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya. Adapun Hadiwijaya sendiri juga merupakan keturunan Prabu Brawijaya.
Telah menjadi kisah yang sangat terkenal di tanah Jawa. Sebelum menjadi raja, Joko Tingkir mengawali ”karirnya” dalam ketentaraan Kesultanan Demak. Karena kecerdasan, keterampilan, dan kesaktiannya, dia menjadi menantu Sultan Trenggana (sultan Demak masa itu) sekaligus diangkat sebagai Adipati Pajang. Wilayah Pajang saat itu meliputi Pengging (sekitar Boyolali dan Klaten), Tingkir (sekitar Salatiga), Butuh dan sekitarnya.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik tahta. Namun dia tewas dibunuh oleh keponakannya sendiri, Arya Penangsang, tahun 1549. Arya Penangsang bahkan berusaha membunuh Joko Tingkir karena khawatir akan menjadi ganjalan. Namun dengan bantuan Ki Panjawi, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani, Bupati Jipang itu akhirnya justru tewas tertusuk tombak Kiai Plered milik Sutawijaya.
Sejak saat itu, Joko Tingkir mewarisi Kerajaan Demak dan memindah pusat pemerintahannya di Pajang. Dia kemudian menobatkan diri menjadi penguasa Kesultanan Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Saat ini, petilasan Keraton Pajang dapat dijumpai di Gang Benowo II Sonojiwan RT5 RW22 Makam Haji, Kartosuro, Sukoharjo.
Pajang menjadi cikal bakal berdirinya Kesultanan Mataram. Kerajaan itu mampu mengombinasikan Islam yang dibawa para wali dari pesisir utara Pulau Jawa dengan budaya kejawen di pedalaman. Memang tidak banyak peninggalan fisik Keraton Pajang yang ditemukan. Namun dalam posisinya saat itu, Pajang berperan penting dalam transisi kebudayaan dari Demak di pesisir utara menuju Mataram di selatan Pulau Jawa. Bahkan, Pajang patut dianggap berperan besar dalam upaya memajukan peradaban masyarakat Jawa pedalaman.
Kesultanan Pajang memang telah habis riwayatnya selepas pemerintahan Pangeran Benawa, sekitar 1587. Pangeran Benawa tidak mempunyai putra mahkota dan memilih nyepi, mengabdi untuk agama. Setelah itu, Pajang menjadi bagian wilayah Kesultanan Mataram.
Mengurus Pajang
Setelah 424 tahun lamanya, kini muncul upaya membangkitkan kembali Kesultanan Pajang. Pada 4 Maret lalu, telah dinobatkan seorang adipati untuk meneruskan sekaligus mengurus Keraton Pajang. Dialah Suradi, yang dinobatkan sebagai Adipati Pajang, kemudian bergelar Kanjeng Raden Adipati (KRA) Suradi Joyo Negoro. Adapun yang menobatkan adalah Sultan Demak, Kanjeng Sultan Suryo Alam.
Di bawah naungan Yayasan Kesultanan Keraton Pajang, Suradi bersama beberapa rekannya berhasrat memunculkan kembali situs cagar budaya Keraton Pajang sebagai warisan Nusantara. Pihaknya mengemban misi untuk melestarikan dan menggali potensi situs Keraton Pajang untuk edukasi dan pariwisata.
Humas Kasultanan Karaton Pajang, Ir Sigit Rusdarmawan mengatakan, jumenengan Adipati Pajang yang pertama telah dilakukan 26 Mei lalu. Upacara itu diikuti dengan peresmian Yayasan Kasultanan Keraton Pajang serta ruwatan Sudamala untuk keraton dan Adipati Pajang. Kesultanan Pajang versi modern itu telah didaftarkan pada Yayasan Keraton Nusantara.
Pihaknya berencana menggali peninggalan Karaton Pajang termasuk petilasan-petilasannya, kemudian membuat replikanya. Selain itu membangun museum untuk menyimpan peninggalan-peninggalan masa lampau. Dengan cara itu sejarah Kasultanan Pajang dapat diluruskan.
Saat ini, yayasan yang lahir dari Paguyuban Patilasan Kesultanan Keraton Pajang tersebut mengaku memiliki beberapa benda peninggalan Pajang. Di antaranya berupa batu ompak (fondasi penyangga pilar rumah), batu pipisan (alat untuk membuat jamu), tiang pengikat gajah tunggangan Joko Tingkir, cancangan gethek (tiang untuk mengikat rakit) serta beberapa potong kerangka kayu yang diduga sebagai rakitnya Joko Tingkir. Ada juga setumpuk batu bata bekas tembok Keraton Pajang.
Artefak dan peninggalan-peninggalan tersebut terkumpul dalam satu lokasi di Gang Benowo II Sonojiwan RT5 RW22 Makam Haji, Kartosuro, Sukoharjo. Di tempat itu pula terdapat Sumber Panguripan Tirtomulyo sebuah petilasan yang diyakini pernah menjadi pusat Keraton Pajang. Kelak, akan dibuatkan sebuah museum untuk merawat peninggalan-peninggalan itu.
Di sisi lain, Drs Soedarmono SU, dosen Jurusan Sejarah UNS mengatakan, situs petilasan Pajang sebenarnya pernah dieksplorasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Eksplorasi berhasil menemukan batu ompak dan batu-bata yang diyakini bekas tembok Keraton Pajang. ”Tetapi, proyek berhenti karena Indonesia keburu merdeka. Sampai sekarang tenggelam menjadi mistis. Kalau saat itu dilanjutkan, saya yakin secara arkeologis Keraton Pajang bisa dibongkar,” katanya.(47) (/)
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com